Minggu, 06 Januari 2013

pengertian syariat islam



2.1 Pengertian Syariat Islam
Syari’at, bisa disebut syir’ah, artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia. Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jadi Syariat islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Pembagian Syari’at Islam

Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
Tujuan Syariat Islam
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:
1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu,  jiwa orang beriman akan terpelihara.
3. Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
(QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
Keistimewaan Syariat Islam
Maka Kami jadikan yang demikian itu hukuman yang berat bagi orang-orang pada masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 66).
Dalam Islam berlaku kaidah, “Tidak ada hukuman kecuali oleh sebab adanya pelanggaran, dan tidak ada pelanggaran kecuali adanya nash.” Jadi, harus ada nash terlebih dahulu baru sebuah perbuatan itu dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran, kemudian diberlakukan hukuman bagi mereka yang melanggar.
Dari sini kita akan dapat memahami betul Ke-Mahaadilan. Allah SWT yang menyatakan: “Dan Kami tidak akan mengazab hingga Kami utus rasul terlebih dahulu.” (QS. Al Israa’, 17 : 15). Allah SWT tidak akan pernah memberikan siksa atau azab kepada orang-orang kafir dan ahli maksiat di neraka nanti kecuali setelah Allah mengutus rasul kepada mereka untuk menjelaskan tentang syariat-Nya.
Orang-orang yang Islamfobia mencoba memanfaatkan kata, “Nakaala” dalam ayat tersebut di atas yang bermakna “Hukuman yang berat” dengan menyebarkan fitnah terhadap Syariat Islam dengan menyatakan, bahwa Syariat Islam itu terkesan kejam, keras, bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi, tidak adil, zalim dan bermacam-macam tuduhan lainnya. Dan, ironisnya tidak jarang pernyataan semacam ini muncul dari orang-orang yang mengaku muslim, bahkan kadung dijuluki Cendekiawan Muslim.
Benarkah hukum Allah itu keras sebagaimana yang mereka tuduhkan? Untuk menjawab tuduhan mereka yang tidak beralasan tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa “keistimewaan Syariat Islam” sebagai pedoman hidup. Paling tidak, ada “empat” keistimewaannya.
Pertama, bahwa dalam Islam kekuasaan “mutlak” itu hanya di tangan Allah. Kekuasaan menetapkan hukum itu hanya pada Allah, tidak pada perorangan, golongan, partai maupun pada kesepakatan seperti yang terjadi pada sistim demokrasi. Dalam Syariat Islam yang berhak menetapkan aturan dan hukum hanya Allah,“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS.  Al A’raaf, 7:54). Juga firman Allah SWT pada QS. Al An’aam ayat 57; Asy Syuraa ayat 10 dan An Nisaa’ ayat 105. Maka salah satu bentuk kesesatan oorang-orang Yahudi dan Nasrani di antaranya adalah ketika, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah, 9:31).
Kalau kita berbicara tentang hukum, maka hanya hukum Allah-lah yang pasti adil, sedangkan hukum yang dibuat manusia sudah pasti zalim. Kenapa hukum yang dibuat manusia itu zalim? Karena tatkala manusia membuat aturan dan hukum, maka faktor subjektifitas manusianya (hawa nafsunya) ikut mempengaruhi aturan dan hukum yang dibuatnya. Inilah salah satu perbedaan yang paling mendasar antara syariat Allah dan hukum buatan manusia.
Mengapa hukum Allah itu pasti adil? Karena Allah pada saat membuat aturan tidak punya kepentingan apa pun dengan aturan yang dibuatnya (QS Al Kahfi, 18:29). Manusia mau mu’min atau kafir, mau taat atau maksiat sama sekali tidak membuat Allah beruntung atau rugi. Aturan yang dibuat oleh yang tidak punya kepentingan inilah yang dijamin adil bagi semua pihak.
Manusia dituntut untuk bisa mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya demi kepentingan hukum Allah yang adil dan dituntut pula untuk bisa berbuat adil dalam melaksanakan hukum (QS. Al Maa-idah, 5 : 49; An Nisaa’, 4:58).
Dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Bukhari dikisahkan, ada seorang wanita pada zaman Rasululllah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda: “Apakah kamu akan minta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?” Usamah lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah”.
Pada sore harinya Nabi Saw berkhotbah setelah  terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya: “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, “Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka akulah yang akan memotong tangannya”. Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu.
Yang kedua, syariat Islam bersifat komperhensif, yakni mengatur semua aspek kehidupan. Allah SWT berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An Nahl, 16:89).
Ketiga, sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maa-idah, 5:3). Kesesuaian dengan fitrah manusia, maksudnya memandang manusia tidak sebagai hewan sehingga hanya memenuhi kebutuhan biologisnya, tidak juga sebagai malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Tetapi seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani (QS. Al Qashash,28:77). Bahkan dua-duanya dalam Islam tidak bisa dipisah-pisahkan antara urusan dunia dan akhirat. bila seorang muslim mencari harta itu pun harus dalam rangka dunia dan akhirat, sehingga dalam mencarinya harus sesuai dengan aturan-Nya.
Keempat, fleksibel (luwes). Ada beberapa bentuk fleksibelitas Syariat Islam, di antaranya,
Pertama, dari sisi hawa nafsu, Islam tidak menghendaki manusia itu mematikan hawa nafsu dan juga tidak menyukai manusia yang memenuhi nafsunya tanpa aturan, yang dituntut adalah upaya pengendalian (QS. Al Maa-idah, 5:87; Ali Imran, 3:134) serta tidak boleh berlebih-lebihan (QS. Al A’raaf, 7:31-32).
Rasulullah Saw bersabda: “Tiap-tiap ucapan baik tasbih, takbir. tahmid maupun tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar sedekah, bersenggama dengan isteri pun sedekah”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala”(HR. Muslim).
Kedua, mudah dalam mengerjakan shalat, karena semua bumi ini masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian (HR. Ahmad).
Ketiga, sangat sedikit yang dibebankan dan yang diharamkan.
Keempat, gugurnya kewajiban yang bisa diganti dengan yang lebih ringan. Gugurnya haji karena tidak mampu. Bila tidak mampu shaum boleh diganti fidiyah dan bila tidak dijumpai air untuk berwudhu boleh bertayamum (QS. Ali Imran, 3:97, Al Baqarah, 2:184; An Nisaa’, 4:43).
Kelima, dalam kondisi yang betul-betul “darurat” seorang muslim diperbolehkan melakukan yang dilarang (QS. Al Baqarah, 2:173; Al An’aam, 6:145, An Nahl, 16:115).
Keenam, pelaksanaan kewajiban ada yang mutlak harus sempurna tapi ada juga “ruksyah” (keringanan).
Ketujuh, gugurnya kewajiban berperang bagi yang tidak mampu, di antaranya orang-orang buta dan pincang (QS. Al Fat-h, 48:17).
Kedelapan, dihalalkan beberapa jenis binatang ternak yang dulu diharamkan.
Kesembilan, larangan shaum/puasa sepanjang tahun penuh.
Kesepuluh, bertahap dalam pelaksanakan kewajiban, sebagaimana pelarangan khamar (QS. Al Baqarah, 2:219; An Nisaa’, 4:43; Al Maa-idah, 5:90).
Kesebelas, tidak ada perantara antara hamba dengan Allah, baik dalam akidah maupun dalam ibadah, tidak seperti kesalahan yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani (QS. At Taubah, 9:31).
Keduabelas, ada hubungan interaksi sosial dengan non-muslim khususnya ahli kitab (QS. Al Maa-idah, 5:5)
Syariah meliputi 2 bagian utama :
1. Ibadah ( dalam arti khusus), yang membahas hubungan manusia dengan Allah (vertikal). Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam Quran dan Sunah.  Misalnya : salat, zakat, puasa
2. Mu'amalah, yang membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) .  Dalam hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara, dll.
Syariah Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqh.
Dalam menjalankan syariah Islam, beberpa yang perlu menjadi pegangan :
a. Berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunah (24 :51, 4:59) menjauhi bid'ah (perkara yang diada-adakan)
b. Syariah Islam telah memberi aturan yangjelas apa yang halal dan haram (7 :33, 156-157), maka :
- Tinggalkan yang subhat (meragukan)
- ikuti yang wajib, jauhi yang harap, terhadap yang didiamkan jangan bertele-tele
c. Syariah Islam diberikan sesuai dengan kemampuan manusia (2:286), dan menghendaki kemudahan (2 :185, 22 :78). Sehingga  terhadap kekeliruan yang tidak disengaja & kelupaan diampuni Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan
d. hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam syariah (3:103, 8:46)
Syariah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh (jihad) dan amar ma'ruf nahi munkar

2. Ruang Lingkup Syariah Islam
Syariah Islam adalah aturan hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hukum-hukum Islam yang diatur dalam Al Qur’an dan As Sunah meliputi :
1. Aspek aqidah.
2. Aspek akhlaq.
3. Aspek hukum-hukum ‘amaliyah (praktis).
Aspek ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu aspek ibadah yang mengatur hubungan hamba dengan Kholiq seperti sholat, zakat, shoum , haji dan seterusnya, serta aspek mu’amalah yang mengatur hubungan sesama hamba. Dalam istilah kontemporer, aspek mu’amalah ini meliputi aturan hidup yang sangat luas, yaitu :
a. Ahkamul Akhwal Syakhsiah yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan rumah tangga, Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 70 ayat yang membahas masalah ini.
b. Al Ahkamul Madaniyah yaitu hukum-hukum yang mengatur transaksi ekonomi sesama anggota masyarakat, seperti jual beli, pegadaian, sewa menyewa, hutang piutang, syirkah dan seterusnya. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 70 ayat yang membahas masalah ini.
c. Al Ahkamul Jinaiyah (hukum-hukum pidana), mengatur segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan serta hukumannya. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 30 ayat yang membahas masalah ini.
d. Al Ahkamul Dusturiyah (hukum ketatanegaraan): mengatur mekanisme penyelenggaraan negara berikut hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
e. Ahkamul Murafa’at (hukum perdata): mengatur hal-hal yang berkaitan dengan dunia peradilan, kesaksian dan sumpah. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 13 ayat yang membahas ini.
f. Al Ahkamul Iqtishodiyah wal Maliyah (ekonomi dan moneter) ; mengatur pendapatan dan belanja negara serta interaksi antara kaum kaya dan miskin sertanegara dan warga negara dalam masalah ekonomi. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
g. Al Ahkam Ad Duwaliyah : mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan negara dengan warga negara kafir dzimmi dalam negara Islam. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
[Tarikhu Al Tasyri' Al Islami hal. 84-86, Al Madkhal Ila Dirasati Syari'ah Islamiyah hal. 49-53 dan 156-158, Ilmu Ushulil Fiqhi hal. 32-33 ].
Hukum-hukum ini dibukukan dan diatur lagi secara detail dalam As Sunah An Nabawiyah yang jumlahnya sangatlah banyak. Demikianlah, syariah Islam merupakan aturan hidup dan perundangundangan paling lengkap dan sempurna yang Allah Ta’ala turunkan untuk umat manusia sampai akhir zaman nanti.
3. Prinsip-prinsip syariah Islam dan tabiat hukum-hukumnya :
Menurut tabiat (sifat) nya, hukum-hukum syariah bisa dikelompokkan dalam dua kategori :
(a) Hukum-hukum terperinci : yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah, atau ibadah atau akhlaq atau beberapa masalah khusus yang berkaitan dengan hubungan antar individu. Aqidah hadir secara terperinci menerangkan hakekat-hakekat yang bersifat pasti. Ibadah mengatur hubungan antara hamba dengan Kholiq, sedangkan akhlaq berperan penting dalam meluruskan perilaku masyarakat. Ketiga unsur yang diterangkan secara terperinci ini berjalan seiring membentuk masyarakat yang bertauhid dan lurus serta sholeh. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara individu juga bersifat tsabat (baku) dan terperinci karena keberadaannya dan hajat manusia kepadanya akan tetap berlangsung sepanjang masa dan di segala tempat, sementara aturan lain tidak ada yang bisa menggantikan perannya dan merealisasika maslahat bagi umat manusia . Yang termasuk dalam hukum ini adalah ; hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, pernikahan dan warisan, pengharaman riba dalam aspek mu’amalah (interaksi ekonomi), hukuman atas berbagai tindak kriminal (qishosh, diyat, rajam, potong tangan, hukuman atas orang murtad dll). Semuanya bersifat baku karena hanya aturan inilah yang sesuai dengan segala tempat dan zaman serta merealisasikan maslahat bagi umat manusia.
(b) Hukum yang bersifat global, hanya menyebutkan kaedah-kaedah pokok dan prinsip-prinsip umum. Hukum-hukum ini tidak menyebabkan kesempitan bagi umat manusia, sebagaimana juga tidak akan pernah ketinggalan dengan perkembangan tekhnologi dan peradaban umat manusia. Hukum-hukum yang termasuk dalam kategori ini menjadi ruang ijtihad bagi para ulama mujtahidin. Di antara contohnya adalah : kaedah (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain), prinsip syuro dalam bidang hukum dan prinsip keadilan.
[Al Madkhal Ila Dirasati Syari'ah Islamiyah hal. 43-49 dan 157-158, Ilmu Ushulil Fiqhi hal. 33-34, Al Imamatu Al 'Udzma 'Inda Ahli Sunah wal Jama'ah hal. 93-100 ].
4. Peran Imam dan Negara dalam Penerapan Syariah
Syariah Islam yang begitu sempurna dan paripurna ini tidaklah mungkin bisa dilaksanakan secara kaafah oleh individu-individu semata. Memang benar, setiap individu muslim wajib melaksanakan syariat Islam. Namun penerapan syariat Islam secara kaafah menuntut adanya prasarana yang mengatur, melindungi dan memberi sangsi bagi para pelangar syariah Islam, baik dalam aspek aqidah, akhlak maupun hukum.
Tujuan luhur ubudiyah (pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala) dengan meniti jalan syariah-Nya memerlukan wasilah (sarana) yang menjamin kelancaran ubudiyah tersebut. Di sinilah arti penting adanya negara Islam dan imam (khalifah).
Sesungguhnya negara Islam ditegakkan dan imam diangkat adalah untuk menegakkan perintah Allah di muka bumi ini sesuai dengan yang disyariatkan Allah Ta’ala serta mar ma’ruf nahi munkar. Memerintahkan segala yang ma’ruf, menyebarkan segala kebajikan d a n meninggikannya semaksimal mungkin, dan mencegah segala yang mungkar, memberantas dan menghukum pelakunya. Inilah tujuan utama diangkatnya imam, sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah Ta’ala :
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (41) (yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (TQS. Al Hajj :40-41).
Tujuan agung ini diwujudkan melalui dua tugas pokok yang besar, yaitu :
A. Iqomatu dien : Menegakkan dien Islam dengan melakukan dua hal :
1). Hifdzuhu (menjaganya) : Yaitu menjaga aqidah Islam dalam dada kaum muslimin, menjaga tashowur kaum muslimin terhadap dien Islam ini agar senantiasa bersih dari segala keraguan dan kerancuan serta racun dan virus, menjaga kemurnian hakekat dan makna dien Islam sebagaimana saat diturunkan Allah Ta’ala, disampaikan oleh Rasulullah, para shahabat dan generasi Islam sesudahnya serta merealisasikan dienul Islam dalam alam nyata.
Dalam hal ini, tugas imam adalah :
a). Menyebarkan dienul Islam dan mendakwahkannya dengan lisan, tulisan dan senjata. Dakwah ini meliputi dakwah kepada kaum muslimin dan dakwah kepada non muslim, baik di dalam negara Islam maupun di luar negara Islam. Sebagai wakil dari keseluruhan umat Islam, imamlah pihak yang paling bertanggung jawab atas tugas ini. Imam berkewajiban menyebarkan dakwah kepada non muslim dengan tiga opsi : masuk Islam, atau membayar jizyah atau perang.
b). Membantah dan memerangi segala bentuk bid’ah, syubhat dan kebatilan. Imam berkewajiban mengerahkan segala sarana untuk membendung, membantah dan memerangi segala bentuk syubhat, bid’ah, kebatilan dan tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam yang merusak dan mengaburkan kemurnian Islam.
c). Menjaga seluruh wilayah negara Islam dan membentengi daerah-daerah rawan (tsughur). Dalam aspek militer imam berkewajiban menjaga keamanan dari gangguan yang mengancam wilayah baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara Islam sehingga agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta umat Islam terlindungi dan aman.
2. Tanfidzuhu (merealisasikannya)
1). Menegakkan hukum-hukum syariat dan melaksanakan hukuman bagi pelanggarnya. Hukum pemungutan zakat, pembagian fai, pembentukan ketentaraan yang berjihad, amar ma’ruf nahi munkar dan penegakkan hudud merupakan kewajiban imam dan pihak yang ditunjuk sebagai pembantu dan wakilnya, seperti para gubernur wilayah, komandan militer dan para qadhi syar’i. Hukum-hukum ini tidak mungkin ditegakkan oleh individu-individu, karena justru akan menimbulkan fitnah dan kekacauan.
2). Menghasung manusia untuk melaksanakan dan mentaati hukum-hukum syariah dengan cara lunak (targhib) maupun keras (tarhib). Sebagian rakyat mau melaksankan syariat Islam dengan ajakan-ajakan dan dakwah, namun ada juga pihak-pihak yang tetap melanggar dan tidak bias disadarkan kecuali hukuman-hukuman syariat. Imam menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas tugas penyadaran ini.
Uraian sekilas ini paling tidak cukup menggambarkan bahwa tahkimu syariah secara kaafah tidak mungkin terlaksana tanpa adanya negara Islam dan imam. Wallahu A’lam bish Shawab wal Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamien

A. Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang Islam yakin bahwa ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuanm Allah SWT yang bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum bagi setiap komponen dalam satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya tetapi juga akan menghilangkan fungsi parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sisten.
Sebagai contoh, seseorang menyalahi janji, berdusta, zina, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Dalam syariah Islam ada istilah rukshoh (keringanan) apabila seseorang tidak dapat melaksanakan kewajibannya secara normal, maka ia boleh melaksanakannya dengan cara lain sesuai dengan kekuatan, kemungkinan, dan kondisi, seperti sholat sambil duduk.

B. Ruang Lingkup Syariah

Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.
1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.
2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.
4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.


C. Sumber-Sumber Syariah

1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

D. Klasifikasi Syariah
Syariah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Wajib (Ijab), yaitu suatu ketentuan yang menurut pelaksanaannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
2. Haram, yaitu suatu ketentuan apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa. Contohnya : zinah, mencuri, membunuh, minum-minuman keras, durhaka pada orang tua, dan lain-lain.
3. Sunnah (Mustahab), yaitu suatu ketentuan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
4. Makruh (Karahah), yaitu suatu ketentuan yang menganjurkan untuk ditinggalkannya suatu perbuatan; apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. Contohnya : merokok, makan bau-bauan, dan lain-lain.

E. Ibadah Sebagai Bagian Dari Syariah
Syariah mengatur hidup manusia sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan demikian salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.
Secara umum Ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas hidup manusia. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyah ayat 56 yang berbunyi :


Artinya : “Dan aki tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyat : 56).

Secara khusus Ibadah berarti perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain.
Landasan dasar pelaksanaan syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang kuat maka syariah dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

PENERAPAN SYARIAT ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW 

Strategi Rasulullah SAW
Allah SWT mengutus Nabi Muhammad Saw ketika manusia berada dalam kegelapan, kezaliman dan kejahiliyahan. Rasulullah SAW datang ke dunia ini dengan membawa agama Islam yang inti ajarannya dapat kita ringkas atas tiga hal, yaitu akidah, ibadah dan sistem.
Akidah dapat tegak dengan mentauhidkan Allah dalam uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat. Uluhiyah adalah beribadah hanya kepada Allah saja, rububiyah adalah mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan semua urusan jagat raya, sedangkan asma wa sifat adalah meyakini bahwa semua sifat Allah Esa dan Sempurna. Ibadah menyangkut semua aktivitas, ucapan dan pikiran yang ditujukan hanya untuk mencari ridha Allah.
Dalam hal sistem, selain mengajarkan akidah tauhid, Islam datang membawa sistem untuk mengatur semua aspek kehidupan meliputi bidang agama, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikandan lain-lain.
Rasulullah Saw telah meletakkan pondasi negara Islam sejak awal turunnya wahyu Islam. Bahkan, beliau juga telah meletakkan urusan dalam negeri, luar negeri dan militer untuk penerapan syariat Islam. Strategi berikut ini dibuat sebelum dan setelah hijrah.

  1. Rasulullah Saw memberikan motivasi kepada kaum Quraisy agar dapat memimpin dunia jika mau mengucapkan dan mengamalkan la ilaha illallah.
  2. Peristiwa Baitul Aqabah, sekelompok orang dari Madinah yang terdiri dari 73 laki-laki dan 2 wanita. Mereka berbai’at siap membela Rasul Saw sebagaimana membela anak, istri dan keluarganya.
  3. Hijrah ke Habasyah. Ini adalah strategi politik yang diambil oleh Rasul Saw , yaitu memerintahkan beberapa sahabat hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan dan intimidasi.
  4. Persaudaraan. Rasulullah Saw mengadakan sistem persaudaraan antar sahabat muhajirin sebelum hijrah di Mekah. Hal itu tiada lain kecuali dalam rangka program keagamaan, politik dan sosial yang bertujuan melenyapkan kesukuan dan perbedaan status sosial. Hasilnya, terjadilah persaudaraan antara Paman Hamzah dan Zaid bin Haritsah, antara Ubaidah bin Harits dan Bilal dan lain-lain. Langkah ini merupakan fenomena yang sangat indah untuk persamaan manusia dalam pandangan Islam.
  5. Minta bantuan dari kabilah, sebagaimana yang terjadi ketika Rasul Saw pulang dari Taif dengan jaminan Al-Muthim bin Adi.
  6. Hijrah ke Madinah bagi para sahabat untuk bergabung dengan sahabat Anshar adalah persiapan untuk menghadapi serangan musuh.
  7. Rasulullah Saw Hijrah setelah Allah mengizinkan Rasul Saw hijrah karena situasi dan kondisi telah memungkinkan. Dan di Madinah Munawarah banyak orang masuk Islam termasuk orang-orang Yahudi.
  8. Dengan kejelian Rasul Saw , beliau sangat menyadari bahwa masyarakat ini memerlukan sistem yang mengatur kehidupan mereka lalu beliau mengeluarkan Piagam Madinah yang mengatur hak dan kewajiban, tanggung jawab, prinsip-prinsip umum dan urusan yang harus diselesaikan segera. Dengan piagam ini semua lapisan masyarakat dapat diayomi.

Prinsip-prinsip Penerapan Hukum pada masa Rasulullah SAW
Rasulullah Saw memberikan contoh dalam penerapan hukum. Jika kita mengacu pada penerapan hukum di masa Rasulullah Saw, maka terdapat lima prinsip yang melandasinya, yaitu kebebasan, musyawarah, persamaan, keadilan dan kontrol.

Kebebasan
Di antara landasan hukum yang dicontohkan Rasulullah Saw adalah kebebasan bagi individu maupun kolektif, dalam keagamaan maupun sosial politik.
Al-Qur`an memberikan kebebasan di bidang agama.
La ikraha fiddin …
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama.”
“Apakah kamu memaksa manusia sehingga mereka beriman”.
Prinsip ini diterapkan oleh Rasulullah Saw ketika menyambut kedatangan rombongan Kristen Najran di Madinah Munawarah. Pada saat bersamaan tibalah waktu shalat Ashar lalu mereka shalat, maka Rasul Saw bersabda: “Biarkan mereka sholat.” Mereka shalat menghadap ke Timur. Perdamaian Hudaibiyah contoh jelas kebebasan di bidang politik.

Musyawarah
Musyawarah merupakan prinsip dan sistem Islam yang sangat ditekankan dalam Islam dan dipraktikkan oleh Rasul Saw
Allah berfirman:
… wa sya wirhum fil amri … (Ali Imran: 159)
… wa amruhum syuraa bainahum … (asy-Syuraa: 38)
Ketika Rasulullah Saw mendengar bahwa pasukan Quraisy sampai di Uhud, beliau bermusyawarah dengan sahabat, apakah bertahan di dalam kota untuk bertahan atau harus menghadapinya di luar kota. Demikian, Rasul Saw bermusyawarah sebagai pelajaran bagi umat. Padahal tanpa musyawarah pun Rasul Saw telah dibimbing langsung oleh Allah.

Persamaan
Islam datang dalam kondisi manusia berkasta-kasta, berbeda suku dan status sosial. Kaum wanita tidak memiliki derajat dalam pandangan masyarakat saat itu. Islam datang menghapus kebanggaan keturunan dan kepangkatan. Islam menempatkan posisi yang mulia bagi kaum wanita. Dan semua manusia disisi Allah SWT memiliki kedudukan yang sama, yang membedakannya hanyalah amal saleh dan ketakwaannya.
Allah berfirman yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha Mengenal.
Rasulullah Saw menegaskan prinsip kesamaan ini dengan sabda beliau: “Kamu semua anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah.”
“Manusia sama rata bagaikan gigi sisir.Tiada keutamaan bagi orang Arab melebihi non Arab kecuali dengan taqwa”.

Keadilan
Tugas yang diemban Rasul Saw antara lain berbuat adil kepada seluruh lapisan manusia.
“Dan katakanlah; aku beriman terhadap apa yang Allah turunkan dari kitab dan aku diperintahkan untuk berbuat adil diantara kalian”
Contoh kongkret yang dilakukan Rasul Saw ketika Nu’man bin Basyir mengadu padanya: “Bapakku memberiku hadiah, ibu tidak rela hingga disaksikan Rasul Saw Datanglah kepada Rasul Saw agar disaksikannya Rasul Saw bersabda: “Apakah semua anakmu kamu beri yang sama.” Ia menjawab, “Tidak.” Rasul Saw bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah di antara anakmu, saya tidak mau menjadi saksi atas kezaliman, maka ayah mengambil lagi pemberian tersebut.”

Kontrol
Islam sangat menghargai kebebasan individu, kolektif, politik sosial, ekonomi dan
keagamaan. Namun demikian kebebasan yang diberikan Islam bukanlah kebebasan yang tanpa batas melainkan kebebasan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga dalam mengekspresikan kebebasan diperlukan kontrol. Dalam sistem Islam bentuk kontrol tersebut adalah amar ma’ruf dan nahi munkar. Hal itu merupakan puncak agama, serta merupakan tugas yang diemban oleh para Nabi dan Rasul as.
Dalam hadits Riwayat Muslim dikatakan bahwa Umar ra berkata: “Rasulullah Saw membagi barang. Aku berkata:’Ya Rasulullah Saw selain orang-orang itu ada yang lebih berhak.’ Rasul Saw menjawab: ‘Mereka memberikan pilihan kepadaku, antara meminta kepadaku dengan kasar atau mengatakan aku orang bakhil, padahal aku tidak bakhil.’”

Pemerintahan Rasulullah SAW
Sebagian pemikir Islam mengatakan bahwa kita tidak mendapatkan sistem pemerintahan yang dilaksanakan Rasul Saw . Namun, cendikiawan muslim yang lain menilai apa yang diaplikasikan Rasul Saw merupakan pemerintahan yang relevan dengan zamannya dan menjawab kebutuhan rakyat.
Telah dimaklumi bahwa Islam adalah akidah, ibadah dan sistem. Maka, tidak dapat dipungkiri, sistem yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah, telah meletakkan sarana dan prasarana penerapannya. Jika tidak, maka Islam hanyalah teori yang tidak ada nilainya, hal itu ditolak oleh akal sehat.
Sirah Nabawiyah merupakan fakta yang tidak dapat ditolak, bahwa Rasul Saw telah meletakkan pemerintahan yang sangat rapi serta memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai aplikasi wahyu yang diturunkan kepada beliau.
Sistem pemerintahan Rasul Saw dapat diklasifikasikan atas tiga bagian, yaitu:
(1) Urusan dalam negeri, (2)Urusan luar negeri, dan (3)Urusan militer.

Urusan Dalam Negeri
Struktur pemerintah pada masa Rasul Saw di bidang urusan dalam negeri terdiri atas instansi-instansi berikut ini:
  1. Kementerian. Rasul Saw bersabda: “Abu Bakar dan Umar dua orang menteriku”. Namun, tidak bisa dipahami seperti kabinet masa kini. Sejarah membuktikan bahwa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. adalah dewan pertimbangan utama.
  2. Orang kepercayaan Rasul Saw yang terkenal pemegang rahasia beliau. Dia adalah Hudzaifah ibnul Yaman.
  3. Pendidikan. Abdullah bin Said ibnul Ash mengajar baca tulis di Madinah, bahkan tawanan Badar dapat membebaskan dirinya jika mengajar baca tulis 10 sahabat.
  4. Sekretaris. Rasulullah Saw memiliki sekretaris wahyu, penulis surat dan perjanjian/perdamaian.
  5. Pemegang stempel muaigib. Ketika Rasul Saw ingin mengirim surat ke Romawi, disampaikan kepadanya, maka beliau membuatnya dari perak bertuliskan: MUHAMMAD RASUL SAW
  6. Bendahara. Tugas ini ditangani oleh Rasul Saw sendiri dan beliau mengangkat seseorang untuk menarik zakat dan Umar ibnul Khatab orang pertama dalam tugas ini.
  7. Pengawas pasar, untuk memantau harga. Said bin Said al-Ashi bertugas di pasar Mekah setelah ditaklukkan.
  8. Rumah tahanan sebagaimana menahan Bani Zuraidah di rumah Bintu al-Harits.
  9. Petugas pajak. Rasul Saw mengangkat Abu Ubaidah di Bahrain dan al-Alas ibnul Hadrani dan Muadz bin Jabal di Yaman.
  10. Rasulullah Saw menugasi seorang untuk mengambil zakat Bani Salim. Ketika datang ia menyerahkan zakat kepada Rasul Saw dan menunjukkan hadiah dari seseorang. Rasul Saw bersabda:”Tidakkah engkau diam di rumah bapakmu dan ibumu sampai hadiah mendatangimu, jika engkau jujur”

Urusan Luar Negeri
Rasulullah Saw menyebarkan Islam dan menugasi beberapa sahabat ke luar negeri sebagai bukti bahwa beliau selain utusan Allah juga negarawan. Muhammad Saw adalah utusan Allah sebagaimana beliau juga negarawan yang bertugas menyebarkan Islam dengan sendirinya dan menugasi beberapa sahabat ke luar negeri, seperti Dihyah al-Kalbi sebagai duta ke Kaisar Romawi. Amar bin Abi Baltaah ke Mukankin penguasa Iskandariyah. Mereka bertugas menyebarkan Islam yang sekarang dapat dikenal dengan sebutan duta-duta besar.

Delegasi perdamaian
Rasulullah Saw menugasi Khurasy bin Umaiyah al-Khuzai kepada Kabilah Quraisy untuk menyampaikan pesan Rasul Saw kepada pembesar Quraisy, namun tidak dikabulkan. Kemudian ingin mengutus Umar, namun Umar mengajukan Utsman bin Afan.

Penerjemah
Rasulullah Saw berbicara dengan Zaid bin Tsabit : “Banyak surat datang kepadaku. Aku tidak ingin surat itu dibaca oleh setiap orang. Mungkinkah engkau belajar bahasa Suryaniah? Zaid menjawab, “Ya Rasul Saw .” Bahkan Zaid pandai bahasa Persia, Romawi, Mesir dan Habasyah.

Sekretariat
Rasulullah Saw mengirim surat ke Romawi, Persia, Quraisy dan kabilah lainnya. Surat-surat itu didiktekan Rasul Saw kepada sekretarisnya. Kemudian dikirim ke tempat tujuan.

Urusan kemiliteran
Untuk dapat menerapkan syariat Islam, Rasulullah Saw sangat memperhatikan urusan pertahanan, keamanan dan kemiliteran karena hal itu merupakan unsur penting dalam kehidupan bangsa.
Oleh karenanya, sejarah mencatat peperangan yang langsung dipimpin oleh Rasul Saw terjadi 29 kali dan peperangan yang dipercayakan kepada para sahabat sebanyak 48 kali, ada yang mengatakan 56 kali.
Pada pertempuran tersebut Rasulullah Saw memberikan penugasan di pos masing-masing, sesuai dengan kemampuan dan bakatnya.

Pemerintah daerah pada masa Rasul Saw
Sejak banyak orang memeluk agama Islam dan kembali ke daerah masing-masing, pada gilirannya harus ada yang mengatur dan membimbing urusan mereka dalam bidang sosial dan agama. Maka Rasul Saw mengutus delegasi untuk menjadi pemimpin di wilayah-wilayah sesuai dengan kebutuhan.

Gubernur pada zaman Rasul Saw
Rasulullah Saw mengangkat beberapa sahabat sebagai pemimpin di berbagai wilayah yang bertugas hingga Rasul Saw meninggal dunia. Mereka adalah:
  1. Uthab bin Usaid salah seorang pembesar, sangat bijak dan berani memeluk agama Islam pada Fathu Mekah. Dia mendapat mandat memimpin wilayah Mekah.
  2. Utsman bin Abi al-Ashs putra Thaif masuk Islam bersama rombongan Taif kepada Rasul Saw , lalu Rasul Saw mengangkatnya sebagai pemimpin di daerahnya, Thaif.
  3. Amer bin Hazam, sahabat Anshar mengikuti beberapa kali peperangan setelah Perang Khandak. Kemudian diangkat oleh Rasul Saw petugas bidang ibadah dan Abu Sufyan di bidang sadaqah di wilayah Najran.
  4. Khalid bin Said ibnul Ash diangkat untuk wilayah Ramai dan Zubaid.
  5. Amir bin Syaher bertugas di wilayah Hamda.
  6. Fairuz al-Dailami di wilayah Shon’a.
  7. Abu Musa al-Asyari di wilayah Ma’rib.
Dalam pengangkatan para pemimpin wilayah, Rasulullah memberikan mandat dan tugas yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Inilah satu contoh surat tugas untuk penduduk Yaman dan Gubernurnya Amer bin Hasen, yang mengandung nasihat, hukum, bimbingan dan tugas.
Inilah contoh SK yang Rasul Saw berikan kepada Gubernur Amer bin Hasen untuk Yaman:
  1. Inilah keterangan dari Allah dan Rasul Saw (Hai orang yang beriman tepatilah perjanjian-perjanjian). Janji Nabi Muhammad utusan Allah, kepada Amer bin Hazen ketika diangkat di Yaman.
  2. Hendaknya bertakwa kepada Allah dalam semua urusan, sesungguhnya Allah bersama orang bertakwa dan berbuat kebaikan (berihsan).
  3. Harus menegakkan kebenaran sebagaimana perintah Allah.
  4. Hendaknya memberi kabar gembira kepada manusia dan melaksanakan kebaikan. Mengajar Al-Qur`an dan ajaran Islam. Dan tidak boleh menyentuh Al Quran kecuali yang berwudhu.
  5. Menyampaikan tugas dan hak kepada manusia.
  6. Lemah lembut dalam kebenaran dan tegas terhadap kezaliman, karena Allah benci kepada kezaliman. (Ketahuilah laknat Allah terhadap orang-orang zalim).
  7. Memberi kabar gembira tentang surga dan amal menujunya. Dan memberi peringatan tentang neraka dan amal menuju kepadanya.
  8. Menyatu dengan manusia agar mau belajar agama, manasik haji, haji akbar dan haji asghar yaitu umroh.
  9. Melarang orang shalat dengan pakaian ketat.
  10. Melarang mengucirkan rambut ke belakang kepala.
  11. Melarang perang karena kabilah dan keluarga namun harus karena Allah semata. Jika tidak pedang akan melayang sehingga hanya karena Allah.
  12. Menyeru orang berwudhu dengan sempurna, membasuh muka, tangan hingga siku, kaki hingga mata kaki dan mengusap kepala seperti yang diperintahkan Allah dan hal lainnya.

Perjanjian tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
  1. Pengangkatan Amer bin Hazen sebagai Gubernur Yaman.
  2. Surat ini dapat diklasifikasikan dalam tiga hal:
a. Nasihat
b. Hukum
c. Bimbingan

Penutup
Islam bukan agama yang mengatur ruhani saja, namun juga sebagai sistem untuk mengatur kehidupan yang harmonis, damai, aman dan makmur
Maka dalam penerapannya, Islam akan dapat menyelesaikan semua problem manusia: individu, kolektif dan bernegara. Untuk penerapan syariat Islam, Rasul Saw telah meletakkan strategi, sistem dan agenda pemerintahan pusat dan daerah. Dan telah terwujud janji Allah berupa pemerintahan yang menerapkan syariat Islam sebagai solusi semua problem yang dialami umat manusia.
Allah pun telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana ia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS An-Nur: 55). 
B. Sejarah penerapan syariat islam di Aceh.
  1. masa kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
( http//www.mahkamahsyariahaceh.go.id)
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya adalah:
a.  datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu sangat besar.
b.  Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
c. Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul adil).
d. Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
  1. Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ]  30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
  1. Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).



Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1.      Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2.      Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
3.      Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
4.      Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
Lembaga yang terkait penerapan syariat islam.
a.       Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c.       Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenag member tahu dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
Tugas wilayatul hisbah.
Tugas yang harus di jalankan wilayatul hisbah antara lain:
1. Memperkenalkan dan mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan syariat islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan moral yang baik.
2. mengawasi masyarakat agar mereka memahami peraturan yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang luhur yang dituntun islam.
3. melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan pidana tidak melakukan perbuatan maksiat (kejahatan) lanjut.
Wilayatul hisbah diangkat secara khusus oleh gubernur pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten atau kota oleh bupati atau walikota sedangkat tingkat gampong di angkat oleh petugas tuha peut (tetua gampong) setempat. Jika dijabarkan tahapan tugas wilayatul hisbah dan kaitannya dengan penegak hukum syariah lain adalah:
a.       Tahap sosialisasi akan berhubungan dengan pimpinan gampong.
b.      Tahap penyidikan bertugas sebagai PPNS (petugas penyidik negeri sipil) dan akan berhubungan dengan polisi.
c.       Tahap penjatuhan hukuman bertugas sebagai petugas pencambuk dan akan berhubungan dengan kejaksaan.
d.      Mahkamah syariah.
Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadialan agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam.
Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).
Sistem penyusunan hukum syariat islam di NAD
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Beberapa qanun yang telah disahkan
(agustus 2005)
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :
1.      Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat islam.
2.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3.      Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5.      Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a.       Terhukum dalam kondisi sehat.
b.      Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c.       Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d.      Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e.       Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.        Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g.       Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
(al yasa abu bakar, 2006)
Kritik terhadap penerapan syariat islam
Penerapan syariat islam hamper jalan 10 tahun. Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP digantikan dengan hukum Allah yang terangkum dalam Al-Qur’an dan Hadish dan di tuangkan dinas syariat islam ke dalam qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak terus saja mengalir. Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan ide baru untuk perbaikan system penerapan syariat islam ke depan.
Menurut Teuku Reiza Yuanda, penerapan syariat islam lebih berkorelasi dengan aspek politik, yaitu sebagai upaya pemerintah menyelesaikan konflik Aceh. Syariat islam cenderung di praktekkan dengan cara-cara kekerasan oleh masyarakat dan pihak pelaksana syariat islam sendiri tidak berdaya mencegah aksi kekerasan masyarakat tersebut. Hala yang sering muncul kepermukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, khamar yang direspon masyarakat melalui sweeping di kafe dan jalan dengan penekana pada busana wanita. Pelaksanaan syariat telah terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan lainnya, apakah korupsi dan manipulasi keuangan Negara dibenarkan dalam islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggar syariat islam tanpa proses hukum yang adil dibenarkan dalam islam? Sebagian besar masyarakat Aceh membenci pelanggar syariat islam padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajian sebagai seorang muslim.
Sedangkan H.Taqwaddin mengkritisi hukum rajam bagi pelaku zina dan di potong tangan untuk mencuri yang sedang hangat diwacanakan di Aceh sekarang.
1.      Negara tidak layak merajam orang yang berzina jka Negara tidak mampu menangkal  media yang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno dan memicu zina. Negara harus menjalankan fungsinya dengan baik.
2.      Fungsi dan peranan hukum sering disamarkan sehingga seolah-olah masyarakat kalangan bawah tidak berlaku bagi kalangan atas.
Pemberlakuan syariat islam secara kaffah, yaitu keikutsertaan pemerintah untuk menegakkan agama islam secara semourna. Segala bidang baik hukum, kesenian, pendidikan, system pemerintahan akan akan dijalankan sesuai tata aturan yang dituangkan dalamhukum syariat islam. Membangkitkan semangat keagamaan dan memberikan ganjaran bagi merekan yang tidak menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai tuntutan hidup.
Pada periode ini dibuatlah aturan dalam bentuk qanun sebagai rujukan hakim untuk mengadili pelanggar syaariah. Pemerintah juga membentuk polisi khusus (wilayatul hisbah) untuk mengawasi dan mensosialisasikan jalannya qanun tersebut. Dinas syariat islam dibentuk untuk mengkoordinir terlaksananya syariat islam menjadi satu kesatuan. Peranan ulama sebagai penuntun dalam menelaah agama islam juga tidak di abaikan. Maka di  bentuklah MPU ( majelis permusyawaratan ulama ). Sebagai pemberi masukan, saran dan kritik.
Beberapa kemajuan yang dicapai sejak dari pertama diberlakukan diantaranya, kedudukan sekolah umum dengan sekolah madrasah menjadi setara. Kesempatan mengajar pelajaran agama di sekolah oleh guru dayah. Tgk imum gampong, guru pengajian memperoleh honorarium dari pemerintah. Pembangunan balai pengajian dan kegiatan penagjian di danai oleh pemerintah.
Pemerintah ingin memperbaiki kesalahan orde lama dan orde baru saat syariat islam secara kaffah bukan tuntutan masyarakat Aceh umumnya. Hasil penelitian oleh bustami ( pasca sarjana UGM, 2004 ) memperlihatkan bahwa kalangan ulama dan aktifis mahasiswa memang melakukan tuntutan agar syariat diberlakukan di Aceh, sedangkan aktivis LSM, cendekiawan, dan masyarakat kalangan bawah, tidak pernah melakukannya.
Jadi dalam penerapan syariat islam ini ada dua serangkai kuat dalam masyarakat. ulama sebagai pemimpin dan pengarah hidup dalam masyarakat. mahasiswa meski sebagai intelektual muda, pemerintahan setangguh rezim Soeharto bisa ditumbangkan, artinya peranan mahasiswa dalam masyarakat sangat besar.
Jika dikaitkan dengan pendapat Teuku Reiza yuanda yang telah diuraikan sebelumnya, penerapan syariat islam lebih berkorelasi dengan aspek politik. Maka kekuatan ulama dan mahasiswa digunakan pemerintah  untuk mempengaruhi masyarakat agar berpersepsi syariat islamlah juru kunci perdamaian di Aceh karena ulama sebagai orang cerdik dan bijak saja berdiri digaris depan.
Banyak kejanggalan dan kekurangan dari segi penerapan dari hukum syariat. Syariat islam yang paling mengemuka dari tahun 2001-sekarang adalah khalwat, judi, khamar, jilbab wanita, celana panjang bagi wanita. Akhir-akhir ini pun sempat di hebohkan dengan wacana pemberlakuan rajam bagi pelaku zina dan potong tangan bagi pencuri.
Memang minuman keras dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan perbuatan keji lain seperti pembunuhan, zina dan dosa-dosa besar lainnya. Judi dapat membawa kesengsaraan karena sifatnya untung-untungan. Negitu juga dengan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh wanita yang merupakan aurat bagi mereka dan khalawat akan mendorong terjadinya pemerkosaan, perzinaan, pelecehan terhadap kehormatan wanita. Lebih parah lagi zina akan menghasilkan keturunan yang tidak diridhai oleh Allah, terlunta-luntanya anak-anak hasil zina,
Namun mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pun pejabat pernah dihukum yang telah ketahuan melakukan KKN terus merajalela. Untuk Pemkab Aceh Utara sendiri 22 milyar uang rakyat lenyap, namun tidak ada sorotan dalam bidang syariat islam.
Lading ganja, pembunuhan, perampokan terus saja merajalela namun tidak pernah ada penanganan yang serius dari pihak berwenang. Media massa yang tidak islami terus saja bermunculan dan merupakan pencetak  oplah terbanyak di Aceh. Seperti Pro haba, rakyat Aveh, Metro Aceh. Koran ini menonjolkan berita seks, kriminalitas tanpa menghormati identitas korban suatu kejahatan. Dalam panduan komunikasi massa umum saja sudah ditegaskan tidak boleh memuat suatu berita dengan mengabaikan hak-hak orang yang diberitakan apalagi dalam komunikasi islami.
Hal ini selaras dengan pendapat H.Taqwaddin yang mengatakan pemerintahan tidak layak merajam orang yang berzina jika Negara tidak mampu menangkal mediayang menjurus kepada hal-hal yang berbau porno. Percuma saja pelarangan zina jika hal-hal yang memicu terjadinya zina terus menerpa umat islam.
Dari segi pakaian mengapa selalu celana panjang wanita yang menjadi sorotan dan rok menjadi solusinya? Jika rok juga dapat menonjolkan aurat intinya kan sama saja. Mengapa kaum lelaki yang memakai celana pendek tidak pernah dipermasalahkan? Padahal dia dalam islam jelas diatur aurat wanita adalah seluruh tubuh dan laki-laki dari pusar hingga lutut. Mengapa pula dalam VCD karya seni anak Aceh modelnya tidak memakai pakaian yang islami dan ceritanya disajikan tidak islami. Mengapa hal itu tidak mendapat perhatian dari dinas syariat islam atau pihak-pihak terkait lainnya. Ada apa dibalik semua itu???
Mungkin yang perlu dilakukan agar islam kembali jaya di Aceh sepeti pada masa Rasulullah adalah mencoba bangkit dari hal-hal kecil tapi efeknya sangat besar. Seperti disiplin waktu, menjaga kebersihan, ketertiban di jalan raya, penghormatan terhadap milik dan karya intelektual orang lain, kesopanan, rasa cinta kepada Allah dan Rasul.
Sosialisasi syariat islam perlu dilakukan dengan cara modern. Di bidang pakaian harus digiatkan seni merancang busana yang islami karena ada kecenderungan masyarakat kita berbusana sesuai trend. Maka kita harus menciptakan trend yang islami.
Dapat juga dilakukan melalui pemanfaatan media milik pemerintah seperti TVRI dan RRI. Produktivitas TVRI yang kurang berkembang perlu disokong dengan acara-acara yang berbasiskan islam. Media cetak islami perlu digiatkan perkembangannya. Jadi intinya adalah kita jangan hanya pandai melarang tanpa memberikan solusi, tapi solusi yang tepat akan meminimalisir hal-hal yang menguras keimanan kepada Allah SWT.
Landasan Syar’i Penerapan Syariat Islam
Aturan-aturan kehidupan yang biasa kita sebut sebagai syariat itu bisa saja berbeda dari umat satu ke umat yang lainnya, meskipun asasnya sama yaitu tauhid. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam QS Al-Maidah : 48.
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’at dan minhaj”.
Dari sini kita memahami bahwa setiap umat diwajibkan untuk berhukum pada syariatnya masing-masing. Umat Nabi Musa as diwajibkan untuk berhukum pada Taurat (QS Al-Maidah : 44). Umat Nabi Isa as diwajibkan untuk berhukum pada Injil (QS Al-Maidah : 47). Demikian pula umat Nabi Muhammad saw diwajibkan untuk berhukum pada Al-Qur’an (QS Al-Maidah : 48-49). Dan yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah umat manusia di seluruh penjuru dunia semenjak Muhammad diutus menjadi rasul penutup sekalian nabi dan rasul.

Penerapan Syariat Islam pada Masa Kenabian
Masa kenabian merupakan masa formasi syariat Islam itu sendiri. Masa kenabian merupakan transisi dari masa jahiliyah menuju masa yang penuh dengan cahaya petunjuk. Sirah Nabi mengajarkan kepada kita bahwa proses perubahan sistem masyarakat dan negara harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan kepribadian. Negara Madinah yang sedemikian hebat adalah bermula dari para sahabat awal (al-sabiqun al-awwalun) yang telah menjalani penggemblengan kepribadian dalam waktu yang sangat lama di Makkah.
Syariat Islam yang turun di Makkah lebih banyak yang berorientasi pada hal-hal yang asasi, yakni pokok-pokok keimanan dan kebenaran universal. Syariat-syariat yang bersifat peripheral baru muncul setelah tegaknya sistem bernegara, yakni Negara Madinah. Itupun tetap terjadi secara bertahap dan berkesinambungan. Kita sangat mengetahui bahwa pengharaman judi dan riba, misalnya, dilakukan secara bertahap. Demikian pula ketentuan-ketentuan tentang sikap terhadap orang-orang kafir juga turun secara bertahap dan berkesinambungan.
Namun satu hal yang mesti kita catat ialah bahwa syariat Islam itu sudah sempurna pada penghujung risalah Nabi, dimana Allah berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian din kalian, dan telah kusempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan  Aku telah ridha Islam menjadi din kalian” (QS Al-Maidah : 3)
Dengan demikian sepeninggal Rasulullah, umat Islam wajib melaksanakan keseluruhan syariat Islam yang sudah sempurna. Dan demikianlah yang telah dicontohkan oleh umat Islam pada masa khilafah rasyidah. Hanya saja sesudah itu, simpul-simpul hukum Islam terurai satu demi satu, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hampir ditinggalkan sama sekali pada zaman kita sekarang ini. Hal ini terjadi karena umat Islam dihadapkan pada berbagai hambatan, baik internal maupun eksternal, untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna.
Atas fenomena ini, kita berpegang pada kaidah fiqih bahwa ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu kewajiban secara sempurna tidak berarti menyebabkan gugurnya kewajiban itu sama sekali, akan tetapi kewajiban itu tetap harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang ada.

Syariat Islam pada Masa Khilafah Rasyidah
Masa khilafah rasyidah termasuk masa yang dijadikan model bagi sistem tata kehidupan islami. Pada masa Umar ibn Khaththab, Islam telah meluas ke wilayah-wilayah sekitar Hijaz. Keragaman kondisi sosiokultural masyarakat di wilayah-wilayah baru menuntut Umar untuk melakukan ijtihad-ijtihad baru dalam berbagai aspek hukum Islam. Masa Umar dan khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar, merupakan masa-masa yang stabil. Pada penghujung kekhalifahan Utsman ibn Affan, kondisi politik mulai tidak stabil. Meskipun demikian, hukum-hukum Islam masih ditegakkan dibawah sistem khilafah.

Syariat Islam pada Masa Dinasti-dinasti Islam
Yang dimaksud dengan masa dinasti-dinasti Islam ialah masa Bani Umayyah sampai masa runtuhnya Dinasti Utsmaniyah. Masa-masa ini dan masa-masa-masa sesudahnya (sebelumnya tegaknya kembali khilafah) disebut oleh para ulama sebagai masa mulk, untuk membedakannya dari khilafah.
Pada masa dinasti-dinasti Islam, hukum Islam masih diakui dan ditetapkan sebagai sistem hukum yang harus diterapkan. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kita bisa mendapatkan banyak kitab-kitab hukum positif islam dari masa-masa ini, misalnya kitab Al-Kharraj karya Hakim Agung Abu Yusuf yang mengatur masalah keuangan negara secara islami. Jadi, meskipun bentuk negaranya bukan lagi khilafah, namun dinasti-dinasti islam tersebut masih menerapkan hukum Islam.

Syariat Islam Pasca Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah
Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah menandai mulai masuknya pengaruh dan hegemoni Barat secara signifikan terhadap negeri-negeri muslim. Hal ini terutama sangat didukung oleh adanya gelombang kolonialisme dan imperialisme Barat atas negeri-negeri muslim. Dari sisi hukum dan aturan bernegara, negeri-negeri muslim akhirnya menerapkan hukum dan sistem bernegara ala Barat, dengan meninggalkan hukum dan sistem bernegara ala Islam, baik sedikit maupun banyak.
Kolonialisme dan imperialisme tersebut ternyata tidak begitu saja berakhir pada saat negeri-negeri muslim itu mendapatkan kemerdekaannya. Ternyata, kolonialisme dan imperialisme Barat terus berlanjut, hanya saja dalam bentuk lain yang lebih halus, yang dikenal dengan istilah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Intinya, negeri-negeri muslim masih saja terbelenggu oleh hegemoni Barat dan amat tergantung kepada mereka. Dan saat ini, hukum Barat telah diterapkan oleh hampir sebagian besar negara-negara muslim.
Berbagai krisis dan kegagalan pada negeri-negeri muslim yang menerapkan hukum Barat tersebut telah membangkitkan kesadaran sebagian kalangan bahwa hukum Barat harus ditinggalkan. Dan alternatif utama mereka ialah hukum Islam, yang mereka sadari telah berhasil mengantarkan para pendahulu mereka menuju kejayaan. Cita-cita penerapan kembali hukum Islam dalam banyak kasus sulit untuk dipisahkan dengan cita-cita penegakan kembali khilafah islamiyah. Hal ini tidaklah mengherankan karena hukum Islam memang hanya akan bisa diterapkan secara sempurna dalam sebuah negara yang bernama khilafah islamiyah.

Syariat Islam di Beberapa Negara Muslim Saat Ini
Arab Saudi, sebagai contoh, telah sejak lama menerapkan hukum positif Islam, termasuk dalam aspek pidana, meskipun disana terdapat perbincangan khusus dalam hal sistem negara dan berbagai kebijakan luar negerinya. Negeri ini merupakan negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Belum lagi, di negeri ini terdapat dua kota suci, yaitu Makkah, tempat kaum muslimin menunaikan ibadah haji, dan Madinah, bekas ibukota Negara Islam Pertama. Di negeri ini, beberapa bagian dari syariat Islam bahkan telah menjadi tradisi masyarakatnya. Contohnya ialah syariat menutup aurat bagi wanita. Bagi masyarakat Saudi, mengenakan jilbab tidak lagi dipandang sebagai kewajiban yang baru, akan tetapi sudah dianggap sebagai tradisi kehidupan mereka.
Di kawasan Asia Tenggara, kita telah menyaksikan bahwa beberapa wilayah di Malaysia dan demikian pula propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di Indonesia telah memiliki mahkamah syariah. Setidak-tidaknya, itu merupakan pilot project bagi penerapan syariat Islam secara lebih luas dan lebih lengkap.
Di Afghanistan pada masa pemerintahan Thaliban, kita menyaksikan bahwa pemerintah berusaha untuk menerapkan syariat Islam secara total dengan, tentu saja, konsep syariat Islam yang mereka pahami.
Di Iran, meskipun mereka bukan muslim Sunni, syariat Islam telah diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan, berdasarkan konsep aqidah Syi’ah dan fiqih Syi’ah (fiqih Ja’fari).
Beberapa negara muslim yang lain juga berusaha menerapkan syariat Islam dalam beberapa sektor kehidupan yang memungkinkan, baik dengan nama syariat Islam ataupun dengan hanya mementingkan esensinya.

Syariat Islam di Indonesia Saat Ini
Sebagian kecil dari syariat Islam sebetulnya sudah diterapkan di Indonesia. Yang dimaksud ialah penerapan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal dan beberapa bagian dari hukum yang khas Islam seperti hukum pernikahan dan hukum waris. Kalau kita perhatikan, hukum-hukum khas Islam yang telah diterapkan ialah yang bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial politik yang signifikan.
Sebenarnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan aspek-aspek sosial politik. Tanpa aspek-aspek tersebut, Islam tidak layak lagi disebut sebagai Islam. Bahkan, salah satu sebab utama mengapa Islam dimusuhi di Mekkah ialah karena Islam memasuki wilayah-wilayah social politik.
Kalaupun ada penerapan syariat Islam di Indonesia dalam wilayah yang lebih luas, maka kita dapati sifatnya masih belum mengikat, tetapi sekedar pilihan. Padahal, hukum baru dikatakan hukum apabila ia bersifat mengikat.

Hambatan-hambatan dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut.
  1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan ).
  2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
  3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
  4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.

Faktor-faktor Penguat dan Pendukung dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam.
  1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
  2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
  3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
  4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
  5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.

Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam
Dalam usaha menuju penerapan syariat Islam atau sistem hukum apapun juga, setidak-tidaknya akan ada lima elemen yang terlibat. Kelima elemen tersebut ialah :
  1. Masyarakat
  2. Konsep
  3. Aparatur (SDM)
  4. Sistem kekuasaan / Negara
  5. Lingkungan eksternal

I. Masyarakat sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Masyarakat dalam hal ini merupakan elemen yang sangat penting kalau bukannya yang paling penting, karena merekalah sasaran, pendukung, sekaligus kekuatan pengendali dari  sistem hukum yang akan diterapkan. Dalam rangka menuju penerapan syariat Islam, masyarakat harus memiliki dua karakter.
  1. Memiliki komitmen untuk siap menerima dan melaksanakan syariat Islam.
  2. Memiliki pemahaman yang benar tentang materi syariat Islam itu sendiri.
Karakter yang pertama bisa dibentuk dengan cara memperkuat komitmen dan ghirah keislaman masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya yang harus ada adalah pemurnian dan penguatan aqidah umat. Disamping itu masyarakat harus dibuat sadar dan prihatin atas permasalahan-permasalahan umat Islam saat ini, sehingga kecemburuannya (ghirahnya) terhadap Islam dan umat Islam serta semangat perjuangannya (ruh jihadnya) menjadi berkobar.
Karakter yang kedua bisa dibentuk dengan berbagai bentuk pencerdasan masyarakat tentang materi hukum Islam. Usaha tersebut bisa dilakukan melalui berbagai penyuluhan, kajian, seminar, paparan media massa, penerbitan buku secara massal, dan sebagainya, yang dilakukan pada segenap lapisan masyarakat, dengan pendekatan dan pembahasaan yang sesuai. Dengan demikian, masyarakat diharapkan akan bisa memandang syariat Islam sebagai sesuatu yang sempurna, canggih, dan indah. Hanya saja usaha-usaha tersebut membutuhkan SDM yang juga memiliki pemahaman yang memadai tentang materi hukum Islam itu sendiri.

II. Stok Aparatur (SDM) sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Aparat-aparat dalam penerapan syariat Islam nantinya paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut.
  1. Memiliki kepribadian yang terpercaya (amanah, taqwa)
  2. Memiliki kapabilitas yang memadai dalam bidang keahlian atau keilmuan yang terkait.
  3. Tersedia dalam jumlah mencukupi dalam segenap levelnya.
Kriteria-kriteria diatas hanya bisa dicapai apabila terdapat lembaga-lembaga pengkaderan dan pendidikan yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kuantitas. Dengan demikian, sebelum syariat Islam diterapkan, harus ada terlebih dulu lembaga-lembaga pendidikan yang akan mencetak SDM-nya.
Dalam hal ini, beberapa hal berikut barangkali bisa dilakukan.
  1. Memberdayakan dan membenahi (menyempurnakan) lembaga-lembaga pendidikan terkait yang sudah ada. Apabila sekarang kita sudah memiliki banyak IAIN dan semacamnya maka kita harus melakukan pemberdayaan dan pembenahan (penyempurnaan) dalam berbagai aspeknya (kurikulum, sistem, dan sebagainya) sehingga kedepan lembaga-lembaga tersebut mampu menyediakan stok SDM yang diinginkan. Demikian pula, apabila sekarang ini kita telah memiliki fakultas-fakultas hukum favorit yang notabene sekular, maka kita bisa melakukan perombakan pada beberapa sub sistemnya sehingga tidak lagi secular akan tetapi tetap menyisakan aspek-aspek keilmuannya yang bersifat netral. Demikian seterusnya.
  2. Membuka lembaga-lembaga pendidikan baru dalam keilmuan dan keahlian terkait. Ada bebarap alasan atas usaha ini. Pertama, belum adanya lembaga dalam bidang keilmuan atau keahlian tertentu yang amat dibutuhkan. Kedua, lembaga-lembaga dalam bidang keilmuan atau keahlian yang dimaksud sudah ada akan tetapi jumlahnya masih kurang. Sekarang ini tentu kita menyaksikan bahwa telah banyak berdiri kolese-kolese atau fakultas-fakultas ilmu ekonomi islam, perbankan syariah, manajemen islam, dan sebagainya. Ini semua merupakan fenomena yang harus terus ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.
  3. Menjalin kerjasama pendidikan dengan negara-negara muslim yang kualitas pendidikan dalam keilmuan terkait telah lebih maju. Diantara bentuk kerjasama ini ialah pengiriman mahasiswa berprestasi ke luar negeri, pendirian kampus-kampus baru dengan standar kualifikasi kampus-kampus luar negeri yang ternama, pembukaan kampus-kampus cabang dari kampus-kampus luar negeri yang ternama, pengiriman dosen-dosen dan guru besar yang berkualitas dari luar negeri, kerjasama dalam bentuk pendanaan atau pemberian beasiswa belajar kepada mahasiswa berprestasi, dan sebagainya.
  4. Mengadakan pelatihan-pelatihan (courses dan trainings) dalam rangka up-grading stok SDM yang saat ini sudah ada.
  
III. Konsep sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Sesudah muncul suara-suara yang menuntut diterapkannya syariat Islam, tidaklah mengherankan jika ada yang bertanya,”Bagaimana konsep syariat Islam yang akan diterapkan itu?” Ini menyadarkan kita bahwa penerapan syariat Islam tidaklah cukup hanya dengan berbekal kemauan, akan tetapi harus ada juga konsep yang jelas tentang syariat Islam itu sendiri.
Permasalahan konsep ini merupakan permasalahan yang amat penting, dengan beberapa alasan sebagai berikut.
  1. Banyak fenomena ketakutan (fobia) terhadap syariat Islam, bahkan di kalangan umat Islam sendiri, disebabkan karena belum paham terhadap syariat Islam atau karena pemahaman yang salah.
  2. Beberapa kalangan masih meragukan penerapan syariat Islam karena mereka belum melihat adanya konsep yang jelas dan lengkap tentang syariat Islam. Diantara mereka ada yang meragukan bahwa Islam memiliki konsep yang mampu menjawab tantangan zaman modern.
  3. Beberapa kalangan, terutama para pemikir Barat, masih meragukan bahwa syariat Islam bisa diterapkan sebagai representasi dari Islam itu sendiri. Mereka senantiasa mengklaim bahwa penerapan syariat Islam dalam kenyataannya hanyalah penerapan atas konsep yang dimiliki oleh madzhab tertentu saja, dengan tidak memberikan ruang bagi madzhab yang lainnya. Pandangan ini tentu saja harus dipupus dengan cara menyusun dan mensosialisasikan konsep yang tidak terkungkung oleh satu madzhab saja akan tetapi terbuka bagi setiap konsep yang lebih baik meskipun datang dari madzhab yang berbeda.
  4. Ternyata, konsep syariat Islam masih memerlukan proyek ijtihad besar-besaran, apabila akan diterapkan sebagai hukum positif di zaman sekarang ini. Hal ini sangat mudah dimengerti, karena sudah sejak lama kita tidak menerapkan syariat Islam dan karenanya ijtihad juga berhenti – kecuali dalam skala yang sangat kecil. Stagnasi ijtihad ini akhirnya berakibat pada kondisi dimana sebagian konsep-konsep syariat Islam yang ada saat ini adalah konsep-konep yang sudah out of date. Disamping itu, penerapan sistem kehidupan yang tidak islami dalam jangka waktu yang sangat lama telah memunculkan habitat yang kurang kondusif bagi penerapan syariat islam secara sempurna dan menyeluruh. Habibat tersebut, setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini, hanya memungkinkan adanya penerapan syariat Islam sebagai tambal sulam saja atau pada wilayah-wilayah tertentu saja.
Dalam usaha merumuskan konsep syariat Islam, terdapat empat hal yang bisa diintegrasikan untuk kemudian menghasilkan sebuah konsep baru. Empat hal tersebut ialah konsep asasi (yakni teks-teks Al-Qur’an dan Al-Sunnah), konsep lama (yang merupakan hasil ijtihad para pemikir Islam terdahulu), realitas, dan ide-ide baru.
Setelah konsep baru terumuskan, maka kita harus melakukan uji reliabilitas terhadap konsep tersebut. Sesudah itu, ada baiknya jika kita juga melakukan pilot project (proyek percobaan) terhadap konsep tersebut. Setelah melakukan berbagai evaluasi dalam rangka mencapai kesempurnaan, maka kita baru bisa menerapkan konsep tersebut secara massal.
Langkah-langkah bertahap diatas perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan penerapan syariat Islam dalam skala luas. Kita tidak menginginkan bahwa manusia mengalami trauma atau menjadi antipati terhadap syariat Islam hanya gara-gara penerapan syariat Islam yang keliru, sembrono, atau kurang matang. Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya penyembuhan itu lebih sulit daripada pencegahan. Lebih-lebih lagi masyarakat Barat, tentunya akan menjadikan kesalahan tersebut sebagai senjata untuk menyebarluaskan gambaran yang negatif tentang Islam dan syariat Islam, karena mereka selalu memandang segala sesuatu berdasarkan sejarah dan fakta, bukan pada konsepnya.

IV. Sistem Kekuasaan / Negara sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam.
Sistem kekuasaan atau negara dalam hal ini merupakan elemen yang sangat penting karena pada akhirnya merekalah pelaksana, penjamin, dan pelindung penerapan syariat Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian muncul slogan Laa huduuda illa bid daulah (Tidak ada hukum pidana Islam kecuali dengan adanya negara [Islam]) dan slogan-slogan lain yang semakna. Dalam hal ini, yang kita butuhkan adalah sebuah kepemimpinan yang islami. Dalam usaha kesana, dibutuhkan langkah-langkah politis yang efektif.
Dalam iklim demokrasi liberal saat ini, barangkali umat Islam harus berjuang secara parlementer dengan cara membentuk partai-partai politik untuk bisa meraih posisi-posisi kepemimpinan negara. Dan kita tidak bisa memungkiri bahwa partai politik merupakan salah satu sarana yang sangat efektif untuk saat ini. Usaha menuju kepemimpinan Negara yang Islami juga bisa didukung dengan gerakan-gerakan ekstraparlementer, pada saat gerakan-gerakan yang demikian dipandang efektif. Adapun jalan yang paling radikal menuju kepemimpinan islami ialah revolusi. Hanya saja, Nabi tidak pernah mencontohkan revolusi berdarah dalam meraih sebuah kepemimpinan Negara. Yang beliau saw contohkan ialah sebuah perjuangan yang menyeluruh, simultan dan alami. Namun jika revolusi tersebut bisa dilakukan tanpa darah, maka itu baru bisa dibenarkan karena pernah dicontohkan oleh Nabi.

V. Lingkungan Eksternal sebagai Salah Satu Elemen dalam Usaha Menuju Penerapan Syariat Islam
Yang dimaksud dengan lingkungan eksternal disini ialah dunia internasional diluar wilayah negara yang akan menerapkan syariat Islam. Bagaimanapun juga, terlebih-lebih di era informasi dan globalisasi ini, dunia internasional memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap setiap negara yang ada.
Dalam rangka menghadapi pengaruh eksternal yang begitu kuat, kita harus memiliki posisi tawar yang tinggi. Hal ini bisa dicapai apabila kita memiliki kemandirian yang tinggi dan memiliki kekuatan yang diperhitungkan. Disamping itu, kita juga harus senantiasa memberikan imej  yang positif dan simpatik kepada dunia eksternal. Akan lebih efektif lagi, jika itu juga kita ikuti dengan usaha-usaha infiltrasi pemikiran kepada dunia internasional.